BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kata
"keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus
Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini;
ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi
tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang
sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan
kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh
awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat
atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan
keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin
summa, 2004: 15).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Hukum Keluarga
Muslim ?
2.
Apa saja Ruang Lingkup Ahwal Syakhsiyah
?
3.
Bagaimana pengertian Nikah menurut para
ahli dan para ulama ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui Hukum Keluarga Muslim
menurut para ahli
2.
Untuk mengetahui arti dari al-ahwal as-syakhshiyyah
3.
Untuk
mengetahui kegunaan mempelajari Hukum Keluarga Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Keluarga Muslim
Kata
"keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus
Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah;
anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi
tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang
sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan
kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh
awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat
atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan
keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin
summa, 2004: 15).
Hukum
keluarga/hukum kekeluargaan ialah hukum atau undang-undang yang mengatur perihal
hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang
berhubungan dengan ihwal kekeluargaan.
Menurut Prof.
Subekti, "Hukum Keluarga ialah hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan
istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele”.
B.
Ahwal
Syakhsiyah
Dalam literatur hukum Islam (fiqh), seperti
pernah disinggung dalam bagian pendahuluan buku ini, hukum keluarga biasa
dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah.
Ahwal adalah jamak (plural) dari kata tunggal (singular) al-hal, artinya
hal, urusan atau keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah berasal dari kata assyakhshu jamaknya asykhash atau syukhush— yang berarti orang atau
manusia (al-insan). As-syakhshiyyah, berarti kepribadian atau identitas
diri-pribadi [jati diri](Munawwir, Al-Munawwir 749-750).
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal
yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal
as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang)
pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin
dengan personal statute (Amin
summa, 2004: 17).
Al-ahwal as-syakhshiyah ini tampak identik atau sekurang-kurangnya bersesuaian
benar dengan hukum tentang orang dalam lapangan hukum perdata sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perd.) tepatnya dalam Buku
Kesatu Tentang Orang.
Ziba Mir - Hosseini, Marriage on Trial A Study of
Islamic Family Law Iran and Marocco Compared, 1993... Selain sebutan al-ahwal as-syakhshiyah, hukum
keluarga dalam literatur fiqih (hukum Islam) juga umum disebut dengan istilah huququl-usrah
atau huquq al-'a'ilah (hak-hak keluarga), ahkamul-usrah (hukum-hukum
keluarga) dan qanun al-usrah (undang-undang keluarga).
Dalam buku-buku berbahasa Inggris yang membahas
tentang hukum Islam, hukum keluarga biasa diterjemahkan dengan istilah family
law; sementara ahkam al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah umum
diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim family law.
C.
Pendapat
para ahli hukum tentang Ahwal Syakhsiyah
Prof. Wahbah Az-Zuhayli, guru besar Universitas Islam
Damaskus memformulasikan
al-ahwal as-syakhshiyyah (hukum keluarga) dengan hukum-hukum yang mengatur hubunga keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di
masa-masa akhir atau
berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak (perceraian), nasab (keturunan), nafkah dan
kewarisan.
Sementara Ahmad Al-Khumayini, mengingatkan kita bahwa
dimaksud dengan huquq
al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah /ahkamul-usrah ialah seperangkat kaidah undang-undang
yang mengatur
hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus (spesifik) dalam hubungan hukum
suatu keluarga.
Menurut Al-Khumayini, yang menjadi titik sentral
hubungan hukum dalam lapangan ahkamul-usrah (hukum keluarga) ialah
pernikahan (mushaharah) dan nasab (pertalian darah) dalam satu keluarga.
Hubungan hukum antara keluarga yang satu dengan
keluarga yang lain tidak lagi tergolong ke dalam lingkup al-ahwal
as-syakhshiyyah.
D.
Ruang
Lingkup Ahwal Syakhsiyah
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah
pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1.
Perkawinan
(al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat
dengannya;
2.
Perwalian
dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.
Kewarisan
[al-mawarits).
Berlainan dengan
hukum Barat yang lebih menekankan hukumnya kepada perorangan (individu) dengan
sebutan personal law, di kebanyakan negara-negara Islam, kata Tahir
Mahmood, berlaku (hukum keluarga) yang meliputi satu atau lebih dari yang
berikut ini:
a.
law of personal status (qanun al-ahwal as-syakhshiyyah);
b.
Family law (qanun al-usrah,);
c.
Laws of family rights (huquq
al-'a'ilah), martimony (zawaj, izdiwaj),
inheritance
{mirats, mawarits), wills (washiyyah,
washaya) and
endowments (waqf, awqaf).
Hukum
keluarga Islam pada dasamya meliputi empat rumpun subsistem hukum yakni: (1)
perkawinan (munakahat) (2) pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah) (3)
kewarisan dan wasiat (al-mawaarits wal-washaya) (4) perwalian dan pengampuan/pengawasan {al-walayah wal-hajr).(Amin
summa, 2004: 23) .
Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan timbal-balik (internal) antara
sesama anggota keluarga dalam sebuah
keluarga tertentu, fungsi hukum keluarga Islam dalam keluarga muslim adalah sebagai
pengganti mekanisme (hubungan)
timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.
Tujuan dari pensyariatan
hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim secara ringkas ialah untuk mewujudkan
kehidupan keluarga muslim yang sakinah, yakni keluarga muslim yang bahagia
sejahtera.
E. Kegunaan
Mempelajari Hukum Keluarga Islam
a.
Membantu keluarga muslim untuk mengenali dengan
baik hak dan kewajiban
masing-masing sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga;
b.
Mendorong setiap orang untuk mengerti dan menyadari tugas individu (perorangannya) dalam keluarga
apakah dia sebagai suami atau istri;
maupun sebagai orang tua atau anak, bahkan sebagai anggota keluarga lainnya semisal kakek-nenek dan cucu-cicit bila
tinggal dalam satu rumah;
c.
Membantu seseorang dan atau keluarga muslim dalam upayanya melaksanakan tugas hidup dan kehidupan keluarga, yakni membentuk dan mempertahankan keluarga
muslim yang sejahtera;
d.
Menimbulkan kesadaran dan
rasa tanggung jawab sebagai anggota keluarga dalam sebuah
keluarga muslim; Membantu mewujudkan tatanan sosial kemasyarakatan yang
sejahtera, dinamis dan mandiri.
F. NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikaahim yang
merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja riakaha. Sinonimnya
tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.
Kata nikah sering kita perguaakan sebab telah masuk dalam bahasa
Indonesia.
Menurut bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih
dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh-dhammu
waljam 'u (bertinidih dan berkumpul). Seperti Dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati
dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis),
makna ushuli (syar'i) dan makna fiqhi (hukum).
Sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum).
Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar'i), akan dititikberatkan pada
hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah
dari kebolehan berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua
berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan (tirkah) dalam hal
kewarisan.
Pendapat para ulama tentang definisi nikah :
a. Menurut sebagian ulama Hanafiah, "nikah adalah
akad yang memberikan faedah (meng-akibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis".
b. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah
adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan
dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan [seksual] semata-mata".
c. Oleh mazhab Syafi'iah, nikah dirumuskan dengan
"akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan mengguna-kan
redaksi (lafal) "inkah atau tazwij; atau turunan (makna)
dari keduanya."
d. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah
dengan "akad [yang dilakukan dengan menggunakan] kata inkah atau tazwij
guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).
Dalam Bahasa Indonesia, seperti
dapat dibaca dalam bebe-rapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami
istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan
artinya bersetubuh.
Pengertian se-nada juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kawin diartikan dengan (1) menikah (2) cak bersetubuh (3) berkelamin
(untuk hewan). Kawin acak, keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan
antara jantan dan betina dewasa secara acak. Perkawinan adalah: (1) pemikahan;
hal (urusan dan seba-gainya) kawin; (2) pertemuan hewan jantan dan hewan betina
secara seksual.
Dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, kawin diartikan dengan "menjalin kehidupan baru dengan
bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh".
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam yang merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Definisi ini tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta
tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.
Alquran menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji
yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian
serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai perempuan (istri).
Karenanya pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu
dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah Saw. menjulukinya
sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah pula sebabnya mengapa
dalam akad nikah harus ada saksi—minimal dua orang—di samping wali nikah
meskipun tentang status hukum-nya apakah dia sebagai rukun atau hanya tergolong
syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama (fuqaha).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kata
"keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus
Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah;
anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi
tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang
sangat mendasar dalam masyarakat.
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal
yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal
as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang)
pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin
dengan personal statute (Amin
summa, 2004: 17).
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah
pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1. Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang
bertalian erat dengannya;
2.
Perwalian
dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.
Kewarisan
(al-mawarits).
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang
merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.