Jumat, 15 Juli 2016

HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYAH)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin summa, 2004: 15).

B.     Rumusan Masalah
1.                  Apa yang dimaksud dengan Hukum Keluarga Muslim ?
2.                  Apa saja Ruang Lingkup Ahwal Syakhsiyah ?
3.                  Bagaimana pengertian Nikah menurut para ahli dan para  ulama ?

C.    Tujuan Penulisan
1.                  Untuk mengetahui Hukum Keluarga Muslim menurut para ahli
2.                  Untuk mengetahui arti dari al-ahwal as-syakhshiyyah
3.                  Untuk mengetahui kegunaan mempelajari Hukum Keluarga Islam


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Hukum Keluarga Muslim
Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin summa, 2004: 15).
Hukum keluarga/hukum kekeluargaan ialah hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan.
Menurut Prof. Subekti, "Hukum Keluarga ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele”.

B.     Ahwal Syakhsiyah

Dalam literatur hukum Islam (fiqh), seperti pernah disinggung dalam bagian pendahuluan buku ini, hukum keluarga biasa dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah.
Ahwal adalah jamak (plural) dari kata tunggal (singular) al-hal, artinya hal, urusan atau keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah berasal dari kata assyakhshu  jamaknya asykhash atau syukhush— yang berarti orang atau manusia (al-insan). As-syakhshiyyah, berarti kepribadian atau identitas diri-pribadi [jati diri](Munawwir, Al-Munawwir 749-750).
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang) pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin dengan personal statute (Amin summa, 2004: 17).
Al-ahwal as-syakhshiyah ini tampak identik atau sekurang-kurangnya bersesuaian benar dengan hukum tentang orang dalam lapangan hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perd.) tepatnya dalam Buku Kesatu Tentang Orang.
Ziba Mir - Hosseini, Marriage on Trial A Study of Islamic Family Law Iran and Marocco Compared, 1993... Selain sebutan al-ahwal as-syakhshiyah, hukum keluarga dalam literatur fiqih (hukum Islam) juga umum disebut dengan istilah huququl-usrah atau huquq al-'a'ilah (hak-hak keluarga), ahkamul-usrah (hukum-hukum keluarga) dan qanun al-usrah (undang-undang keluarga).
Dalam buku-buku berbahasa Inggris yang membahas tentang hukum Islam, hukum keluarga biasa diterjemahkan dengan istilah family law; sementara ahkam al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah umum diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim family law.

C.    Pendapat para ahli hukum tentang Ahwal Syakhsiyah
Prof. Wahbah Az-Zuhayli, guru besar Universitas Islam Damaskus memformulasikan al-ahwal as-syakhshiyyah (hukum keluarga) dengan hukum-hukum yang mengatur hubunga keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa-masa akhir atau berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak (perceraian), nasab (keturunan), nafkah dan kewarisan.
Sementara Ahmad Al-Khumayini, mengingatkan kita bahwa dimaksud dengan huquq al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah /ahkamul-usrah ialah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus (spesifik) dalam hubungan hukum suatu keluarga.
Menurut Al-Khumayini, yang menjadi titik sentral hubungan hukum dalam lapangan ahkamul-usrah (hukum keluarga) ialah pernikahan (mushaharah) dan nasab (pertalian darah) dalam satu keluarga.
Hubungan hukum antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain tidak lagi tergolong ke dalam lingkup al-ahwal as-syakhshiyyah.

D.    Ruang Lingkup Ahwal Syakhsiyah
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1.                  Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat dengannya;
2.                  Perwalian dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.                  Kewarisan [al-mawarits).
Berlainan dengan hukum Barat yang lebih menekankan hukumnya kepada perorangan (individu) dengan sebutan personal law, di kebanyakan negara-negara Islam, kata Tahir Mahmood, berlaku (hukum keluarga) yang meliputi satu atau lebih dari yang berikut ini:
a. law of personal status (qanun al-ahwal as-syakhshiyyah);
b. Family law (qanun al-usrah,);
c. Laws of family rights (huquq al-'a'ilah), martimony (zawaj, izdiwaj), inheritance {mirats, mawarits), wills (washiyyah, washaya) and endowments (waqf, awqaf).
Hukum keluarga Islam pada dasamya meliputi empat rumpun subsistem hukum yakni: (1) perkawinan (munakahat) (2) pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah) (3) kewarisan dan wasiat (al-mawaarits wal-washaya) (4) perwalian dan pengampuan/pengawasan {al-walayah wal-hajr).(Amin summa, 2004: 23) .
Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan timbal-balik (internal) antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga tertentu, fungsi hukum keluarga Islam dalam keluarga muslim adalah sebagai pengganti mekanisme (hubungan) timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.
Tujuan dari pensyariatan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim secara ringkas ialah untuk mewujudkan kehidupan keluarga muslim yang sakinah, yakni keluarga muslim yang bahagia sejahtera.

E.     Kegunaan Mempelajari Hukum Keluarga Islam

a.       Membantu keluarga muslim untuk mengenali dengan baik hak dan kewajiban masing-masing sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga;
b.      Mendorong setiap orang untuk mengerti dan menyadari tugas individu (perorangannya) dalam keluarga apakah dia sebagai suami atau istri; maupun sebagai orang tua atau anak, bahkan sebagai anggota keluarga lainnya semisal kakek-nenek dan cucu-cicit bila tinggal dalam satu rumah;
c.       Membantu seseorang dan atau keluarga muslim dalam upayanya melaksanakan tugas hidup dan kehidupan keluarga, yakni membentuk dan mempertahankan keluarga muslim yang sejahtera;
d.      Menimbulkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim; Membantu mewujudkan tatanan sosial kemasyarakatan yang sejahtera, dinamis dan mandiri.



F.     NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikaahim yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja riakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita perguaakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Menurut bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh-dhammu waljam 'u (bertinidih dan berkumpul). Seperti Dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar'i) dan makna fiqhi (hukum).
Sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar'i), akan dititikberatkan pada hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan (tirkah) dalam hal kewarisan.
Pendapat para ulama tentang definisi nikah :
a. Menurut sebagian ulama Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberikan faedah (meng-akibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis".
b. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan [seksual] semata-mata".
c. Oleh mazhab Syafi'iah, nikah dirumuskan dengan "akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan mengguna-kan redaksi (lafal) "inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya."
d. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan "akad [yang dilakukan dengan menggunakan] kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).


Dalam Bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam bebe-rapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.
Pengertian se-nada juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan (1) menikah (2) cak bersetubuh (3) berkelamin (untuk hewan). Kawin acak, keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan antara jantan dan betina dewasa secara acak. Perkawinan adalah: (1) pemikahan; hal (urusan dan seba-gainya) kawin; (2) pertemuan hewan jantan dan hewan betina secara seksual.
 Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan "menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh".
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Definisi ini tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.
Alquran menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai perempuan (istri). Karenanya pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah Saw. menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah pula sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi—minimal dua orang—di samping wali nikah meskipun tentang status hukum-nya apakah dia sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama (fuqaha).

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan

Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang) pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin dengan personal statute (Amin summa, 2004: 17).
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1.      Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat dengannya;
2.      Perwalian dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.      Kewarisan (al-mawarits).
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.





LOGO KABUPATEN KUNINGAN


MAKALAH TAARUF




TAARUF

OLEH : MUHAMMAD RAMDAN 
(AHWAL SYAKHSIYAH)
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN

a)      Latar Belakang
            Pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Dengan kata lain manusia juga bisa dikatakan sebagai makhuk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan adanya proses interaksi dengan manusia yang lainnya. Melalui proses interaksi manusia dapat mengetahui dan mengenal antar yang satu dengan yang lainnya.  Di dalam ajaran Islam seorang muslim dituntut untuk saling mengenal, karena dengan perkenalan dapat melahirkan berbagai manfaat, diantaranya melalui perkenalan dapat menempuh jalan menuju  kebahagiaan.
Di zaman modernisasi ini, kebutuhan manusia semakin meningkat dan tekhnologi semakin canggih. Diperlukan adanya proses penyesuaian budaya kehidupan manusia dengan zaman khususnya dalam bidang ilmu komunikasi melalui teknologi tersebut.  Ilmu komunikasi berperan sebagai sebuah jalan untuk melangsungkan kehidupan manusia. Karena berbagai kebutuhan manusia pada saat ini rata-rata menggunakan tekhnologi. Akibat dari berkembangnya zaman maka media untuk berkomunikasi pun memilki perubahan. Mereka tidak lagi menggunakan media pertemuan secara langsung. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman maka banyak media yang dapat mempermudah berlangsungnya komunikasi antara sesama manusia. Diantaranya melalui jaringan internet, facebook, twitter, dsb.
Oleh karena itu perlu adanya selektifitas dalam diri manusia untuk menggunakan tekhnologi. Karena apabila manusia tidak bisa menggunakan tekhnologi dengan baik maka hasilnya pun tidak akan baik begitupun jika sebaliknya.









b)     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ta’aruf
2.      Khalwat dan hukumnya
3.      Hukum komunikasi secara langsung atau (face to face)
4.      Hukum komunikasi via media telepon/Surat/SMS/Facebook

c)      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Ta’aruf
2.      Untuk mengetahui Khalwat dan hukumnya
3.      Untuk mengetahui hukum komunikasi secara langsung (face to face)
4.      Untuk mengetahui hukum komunikasi via Media Telepon/Surat/SMS/Facebook



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ta’aruf
Ta’aruf secara bahasa merupakan isim masdar yang berasal dari bahasa arab ta’arafa –yata’arofu- ta’aarufan diartikan sebagai saling mengetahui atau saling mengenal. Adapun pengertian ta’aruf secara istilah adalah upaya untuk saling mengetahui dan mengenal keadaan seseorang secara jelas,, baik yang menyangkut kepribadian maupun keadaan keluarga dengan tidak keluar dari hukum-hukum syara yang telah di tetapkan.
Dalam kehidupan keseharian remaja zaman modern seperti ini, kadangkala mereka salah mengaplikasikan ta’aruf tersebut. Padahal ta’aruf itu ditujukan kepada seluruh umat manusia dan memiilki tujuan yang baik dan tidak keluar dari aturan syara’. Sebagai makhluk Allah Swt hendaknya kita dapat mengenal lebih dalam terhadap sesama manusia dalam segi apapun. Dengan melakukan ta’aruf  maka manusia bisa mengenal lebih dekat semua manusia di muka bumi tanpa terkecuali. Mengenal mereka adalah upaya untuk saling mengetahui dan memahami sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara sesama manusia. Tak ada prasangka, iri, benci, dan dendam yang menghantui sehingga bisa menghancurkan diri sendiri dan orang lain.
Sebagaimana Allah Swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-Hujurat ayat 13)

B.     Hukum Khalwat
Khalwat adalah seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya. [1]. Khalwat adalah perkara yang diharamkan dalam agama Islam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
32.  Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Israa’ ayat 32)

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ
59.  Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.Al-Ahzab ayat 59).
[1232]  Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

@è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºsŒ 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ
30.  Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka p erbuat". (Q.S. An-Nuur ayat 30)


Satu : Hadits Ibnu Abbaradhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhari, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحَجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.
“Janganlah  seorang laki-laki ber-khalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berdirilah seorang lelaki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji dan saya telah terdaftar di perang ini dan ini.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau, kemudian berhajilah bersama istrimu.”
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathur Bari (4/ 32–87): “Hadist ini menunjukkan pengharaman khalwat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram, dan hal ini disepakati oleh para ‘ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya.”
Dua: Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan perempuan karena yang ketiga bersama mereka adalah syaithan.” [2]
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 9/490 setelah tentang disyari’atkannya melihat kepada perempuan yang dipinang, beliau menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengannya, di antaranya beliau berkata: “Dan tidak boleh ber-khalwat dengannya karena khalwat adalah haram dan tidak ada dalam syari’at (pembolehan) selain dari melihat karena dengan khalwat itu tidak ada jaminan tidak terjatuh ke dalam hal yang terlarang.”
Empat: Hadist Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:

أَلَا لَا يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ  

“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya.”
Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahîh Muslim (14/153)[3]: “Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukan bahwa haramnya bekhalwat dengan perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dan (menunjukkan) bolehnya ber-khalwat dengan siapa yang merupakan mahramnya. Dan dua perkara ini disepakati (dikalangan para ‘ulama,.).”
Dan perlu diketahui bahwa pengharaman khalwat tersebut adalah berlaku umum, baik itu dirumah maupun diluar rumah serta tempat yang lainnya.[4]
C.     Hukum komunikas secara langsung atau (face to face)
Setelah dijabarkan di atas tentang larangan berkhalwat disini akan dijelaskan pembahasan tentang bagaimana hukum komunikasi secara langsung atau face to face.
Komunikasi face to face sebenarnya tidak ada larangan, selama tidak ada niat kepada hal-hal yang bisa merujuk kepada syahwat. Misal, pertemuan pria dan wanita di tempat yang ramai dengan tujuan mereka hanya ingin menjalin tali silaturahim atau juga hanya menanyakan hal-hal baik.
 Ada juga beberapa adab-adab yang tidak boleh dilupakan jika berkomunikasi secara langsung atau face to face misal:

·         Menjaga pandangan yang bisa menjatuhkan kita kedalam perbuatan mungkar
Sebagaimana Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

العَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَ النَّظْرُ
“Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah pandangan
·         Menjaga topik pembicaraan dengan membicarakan hal yang positif dan tidak mengundang syahwat.

Dalam sejarah kita lihat bahwa isteri-isteri Rasulullah SAW berbicara dengan para sahabat, ketika menjawab pertanyaan yang mereka ajukan tentang hukum agama. Bahkan ada antara isteri Nabi SAW yang menjadi guru para sahabat selepas wafatnya baginda yaitu Sayyidatina Aisyah RA.

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman :

uuä!$|¡ÏY»tƒ ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'Ÿ2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# Ÿxsù z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ  
Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[5] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[6] dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab Ayat 32)

Imam Qurtubi menafsirkan kata  'Takhdha'na'  (tunduk) dalam ayat di atas dengan arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam hati. Yaitu menarik hati orang yg mendengarnya atau membacanya adalah dilarang dalam agama kita.

D.    Hukum komunikasi via media telepon/Surat/SMS/Facebook

Di zaman modernisasi seperti ini manusia berkembang dalam berbagai segi, seperti halnya dalam hal ilmu, tekhnologi, dsb.  Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa alat komunikasi semakin canggih. Komunikasi dengan telepon, surat maupun tulisan merupakan hal yang lumrah. Akan tetapi sesuai dengan keadaan zaman alat komunikasi bertambah diantaranya komunikasi melalui jaringan internet atau yang lebih dikenal dengan 'chatting' baru muncul dan popular beberapa tahun terakhir. Yaitu, tepatnya setelah ditemui jaringan internet. Karena itu dalam kitab-kitab ulama terdahulu khususnya buku fiqh, istilah ini tidak akan ditemui. Namun asas bagi hukum 'chatting' ini sebenarnya sudah dibahas oleh ulama, jauh sebelum jaringan internet ditemukan.

Kata 'Chatting' dengan lawan jenis yang bukan mahram sama halnya dengan berbicara melalui telepon, SMS, dan berkiriman surat. Semuanya memiliki persamaan. Yaitu sama-sama berbicara antara lawan jenis yang bukan mahram namun melalui media yang berbeda. Persamaan ini  juga mengandung adanya persamaan hukum. Karena itu, ada dua perkara berkaitan yang perlu kita bahas sebelum kita lebih jauh membicarakan hukum 'chatting' itu sendiri.

·         Pertama, adalah hukum bicara dengan lawan jenis yang bukan mahram.

·         Kedua, adalah hukum khalwat.

Berbicara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram pada dasarnya tidak dilarang apabila pembicaraan itu memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh syara'. Seperti pembicaraan yang mengandung unsur kebaikan, menjaga adab-adab kesopanan, tidak menyebabkan fitnah dan tidak khalwat.
Begitu jika hal yang penting atau berhajat umpamanya dalam hal jual beli, kebakaran, sakit dan seumpamanya maka tidaklah haram.Artinya pembicaraan yang dilarang adalah pembicaraan yang menyebabkan fitnah seperti dengan melembutkan suara. Termasuk di sini adalah kata-kata yang diungkapkan dalam bentuk tulisan. Karena dengan tulisan seseorang juga bisa mengungkapkan kata-kata yang menyebabkan seseorang merasakan hubungan istimewa, kemudian menimbulkan keinginan yang tidak baik. Termasuk juga dalam melembutkan suara adalah kata-kata atau isyarat yang mengandung kebaikan, namun ia boleh menyebabkan fitnah. Yaitu dengan cara dan bentuk yang menyebabkan timbulnya perasaan khusus atau keinginan yang tidak baik pada diri lawan bicara yang bukan mahram. Baik dengan suara ataupun melalui tulisan. Jika ada unsur-unsur demikian ia adalah dilarang meskipun pembicara itu mempunyai niat yang baik atau niatnya biasa-biasa saja. Khalwat bukan saja dengan duduk berduaan akan tetapi berbual-bual melalui  telepon di luar keperluan syar'i juga dikira berkhalwat. Karena mereka sepi dari kehadiran orang lain, meskipun fisikal mereka tidak berada dalam satu tempat. Namun melalui telepon mereka lebih bebas membicarakan apa saja selama berjam-jam tanpa merasa dikawal oleh orang lain.
Dan haram juga ialah perkara-perkara syahwat yang membangkitkan hawa nafsu contohnya yang berlaku pada kebanyakkan muda-mudi atau remaja-remaja sekarang dimana sms atau email atau Facebook atau seumpamanya menjadi alat untuk memadu kasih yang memuaskan nafsu di antara pasangan dan masing-masing melunaskan keinginan dan kemauan semata-mata. Membincangkan perkara-perkara lucu lebih-lebih lagi hukumnya adalah haram. Dengan kata lain maka itu diperbolehkan sesuai keperluan. Tentunya dengan syarat-syarat yang sudah kita jelaskan di atas. Di sinilah menuntut kejujuran kita kpd Allah SWT dalam  mengukur sejauhmana urusan kita itu dan satu keperluan atau mengikut nafsu semata-mata. Dan kejujuran itu pula bergantung sejauhmana iman kita kepada Allah SWT. Jika muraqabatillah kita kuat (yakni merasa diri senantiasa dalam pandangan Allah), maka itu yang akan menjadi pengawal kita. Jika tidak maka kita akan hanyut bersama orang-orang yang terpedaya dengan teknologi modern ini.

Dalam hal ini yang merupakan objek khalwat paling utama terdapat pada posisi wanita. Karena melalui media komunikasi manusia dapat mengaplikasikan dirinya semaunya tanpa memandang etika, norma, dan agama.
Internet adalah media yang berkembang dan sangat baik untuk digunakan. Dengan internet kebutuhan manusia dapat terlaksana dengan mudah dan praktis. Akan tetapi tergantung kepada kita apabila kita tak dapat menggunakan dengan baik maka akan terjerumus ke dalam hal yang tidak baik.















BAB III
PENUTUP

E.     Kesimpulan
Sebagai warga Negara yang berkembang hendaknya kita dapat menggunakan ilmu, dan  tekhnologi dengan baik. Diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap diri pribadi menanggapi kemajuan tekhnologi saat ini. Karena khususnya komunikasi melalui tekhologi dapat merusak moral anak bangsa. Hal itu merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama sebagai warga Negara yang menganut ajaran Islam.
Berkomunikasi antar manusia sangatlah urgent dalam keberlangsungan hidup manusia. Akan tetapi sebagai muslim hendaknya berkomunikasi sesuai dengan norma dan ajaran Islam. Karena seringkali melalui media komunikasi manusia lupa terhadap ajaran agama yang dianutnya sehingga mereka bertingkah semaunya tanpa melihat dan menyesuaikan status pribadinya sebagai muslim. Oleh karena itu kita sebagai umat Islam seharusnya mengerti dalam menggunakan media komunikasi apapun, sesuai dengan norma dan aturan yang telah ditetapkan dalam hukum syara’.










Bagan Pembahasan




                        
DAFTAR PUSTAKA

Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah (3/ 422).
Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqahâ’ wa Mumârasât Al Muslimîn hal. 111)
Ash Shahîhah no. 430
Dalam Syarah Shahîh Muslim (14/153)
Fathul Bari 9/332 karya Al Hafizh Ibnu Hajar dan Syarah Shahîh Muslim karya Imam An   Nawawi 14/154.
Syarah Shahîh Muslim 14/154.











[1]Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqahâ’ wa Mumârasât Al Muslimîn hal. 111)

[2](Dishahihk an oleh Syaikh Al Albany dalam Ash Shahîhah no. 430)
[3]dalam Syarah Shahîh Muslim (14/153)
[4]Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah (3/ 422).
[5]  tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.

[6]  yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.