Jumat, 15 Juli 2016

HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYAH)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin summa, 2004: 15).

B.     Rumusan Masalah
1.                  Apa yang dimaksud dengan Hukum Keluarga Muslim ?
2.                  Apa saja Ruang Lingkup Ahwal Syakhsiyah ?
3.                  Bagaimana pengertian Nikah menurut para ahli dan para  ulama ?

C.    Tujuan Penulisan
1.                  Untuk mengetahui Hukum Keluarga Muslim menurut para ahli
2.                  Untuk mengetahui arti dari al-ahwal as-syakhshiyyah
3.                  Untuk mengetahui kegunaan mempelajari Hukum Keluarga Islam


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Hukum Keluarga Muslim
Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Sedangkan kekeluargaan yang berasal dari kata "keluarga" dengan memperoleh awalan "ke" dan akhiran "an" berarti perihal yang bersifat atau berciri keluarga. Juga dapat diartikan dengan [hal] yang berkaitan dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota di dalam suatu keluarga (Amin summa, 2004: 15).
Hukum keluarga/hukum kekeluargaan ialah hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan.
Menurut Prof. Subekti, "Hukum Keluarga ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele”.

B.     Ahwal Syakhsiyah

Dalam literatur hukum Islam (fiqh), seperti pernah disinggung dalam bagian pendahuluan buku ini, hukum keluarga biasa dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah.
Ahwal adalah jamak (plural) dari kata tunggal (singular) al-hal, artinya hal, urusan atau keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah berasal dari kata assyakhshu  jamaknya asykhash atau syukhush— yang berarti orang atau manusia (al-insan). As-syakhshiyyah, berarti kepribadian atau identitas diri-pribadi [jati diri](Munawwir, Al-Munawwir 749-750).
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang) pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin dengan personal statute (Amin summa, 2004: 17).
Al-ahwal as-syakhshiyah ini tampak identik atau sekurang-kurangnya bersesuaian benar dengan hukum tentang orang dalam lapangan hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perd.) tepatnya dalam Buku Kesatu Tentang Orang.
Ziba Mir - Hosseini, Marriage on Trial A Study of Islamic Family Law Iran and Marocco Compared, 1993... Selain sebutan al-ahwal as-syakhshiyah, hukum keluarga dalam literatur fiqih (hukum Islam) juga umum disebut dengan istilah huququl-usrah atau huquq al-'a'ilah (hak-hak keluarga), ahkamul-usrah (hukum-hukum keluarga) dan qanun al-usrah (undang-undang keluarga).
Dalam buku-buku berbahasa Inggris yang membahas tentang hukum Islam, hukum keluarga biasa diterjemahkan dengan istilah family law; sementara ahkam al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah umum diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim family law.

C.    Pendapat para ahli hukum tentang Ahwal Syakhsiyah
Prof. Wahbah Az-Zuhayli, guru besar Universitas Islam Damaskus memformulasikan al-ahwal as-syakhshiyyah (hukum keluarga) dengan hukum-hukum yang mengatur hubunga keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa-masa akhir atau berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak (perceraian), nasab (keturunan), nafkah dan kewarisan.
Sementara Ahmad Al-Khumayini, mengingatkan kita bahwa dimaksud dengan huquq al-usrah/al-ahwal as-syakhshiyyah /ahkamul-usrah ialah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus (spesifik) dalam hubungan hukum suatu keluarga.
Menurut Al-Khumayini, yang menjadi titik sentral hubungan hukum dalam lapangan ahkamul-usrah (hukum keluarga) ialah pernikahan (mushaharah) dan nasab (pertalian darah) dalam satu keluarga.
Hubungan hukum antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain tidak lagi tergolong ke dalam lingkup al-ahwal as-syakhshiyyah.

D.    Ruang Lingkup Ahwal Syakhsiyah
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1.                  Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat dengannya;
2.                  Perwalian dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.                  Kewarisan [al-mawarits).
Berlainan dengan hukum Barat yang lebih menekankan hukumnya kepada perorangan (individu) dengan sebutan personal law, di kebanyakan negara-negara Islam, kata Tahir Mahmood, berlaku (hukum keluarga) yang meliputi satu atau lebih dari yang berikut ini:
a. law of personal status (qanun al-ahwal as-syakhshiyyah);
b. Family law (qanun al-usrah,);
c. Laws of family rights (huquq al-'a'ilah), martimony (zawaj, izdiwaj), inheritance {mirats, mawarits), wills (washiyyah, washaya) and endowments (waqf, awqaf).
Hukum keluarga Islam pada dasamya meliputi empat rumpun subsistem hukum yakni: (1) perkawinan (munakahat) (2) pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah) (3) kewarisan dan wasiat (al-mawaarits wal-washaya) (4) perwalian dan pengampuan/pengawasan {al-walayah wal-hajr).(Amin summa, 2004: 23) .
Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan timbal-balik (internal) antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga tertentu, fungsi hukum keluarga Islam dalam keluarga muslim adalah sebagai pengganti mekanisme (hubungan) timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.
Tujuan dari pensyariatan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim secara ringkas ialah untuk mewujudkan kehidupan keluarga muslim yang sakinah, yakni keluarga muslim yang bahagia sejahtera.

E.     Kegunaan Mempelajari Hukum Keluarga Islam

a.       Membantu keluarga muslim untuk mengenali dengan baik hak dan kewajiban masing-masing sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga;
b.      Mendorong setiap orang untuk mengerti dan menyadari tugas individu (perorangannya) dalam keluarga apakah dia sebagai suami atau istri; maupun sebagai orang tua atau anak, bahkan sebagai anggota keluarga lainnya semisal kakek-nenek dan cucu-cicit bila tinggal dalam satu rumah;
c.       Membantu seseorang dan atau keluarga muslim dalam upayanya melaksanakan tugas hidup dan kehidupan keluarga, yakni membentuk dan mempertahankan keluarga muslim yang sejahtera;
d.      Menimbulkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim; Membantu mewujudkan tatanan sosial kemasyarakatan yang sejahtera, dinamis dan mandiri.



F.     NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikaahim yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja riakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering kita perguaakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Menurut bahasa, kata nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan adh-dhammu waljam 'u (bertinidih dan berkumpul). Seperti Dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar'i) dan makna fiqhi (hukum).
Sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar'i), akan dititikberatkan pada hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan (tirkah) dalam hal kewarisan.
Pendapat para ulama tentang definisi nikah :
a. Menurut sebagian ulama Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberikan faedah (meng-akibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis".
b. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan [seksual] semata-mata".
c. Oleh mazhab Syafi'iah, nikah dirumuskan dengan "akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan mengguna-kan redaksi (lafal) "inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya."
d. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan "akad [yang dilakukan dengan menggunakan] kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).


Dalam Bahasa Indonesia, seperti dapat dibaca dalam bebe-rapa kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh.
Pengertian se-nada juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan (1) menikah (2) cak bersetubuh (3) berkelamin (untuk hewan). Kawin acak, keadaan yang memungkinkan terjadinya perkawinan antara jantan dan betina dewasa secara acak. Perkawinan adalah: (1) pemikahan; hal (urusan dan seba-gainya) kawin; (2) pertemuan hewan jantan dan hewan betina secara seksual.
 Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan "menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh".
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Definisi ini tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta tegas dibandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.
Alquran menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai perempuan (istri). Karenanya pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah Saw. menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah pula sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi—minimal dua orang—di samping wali nikah meskipun tentang status hukum-nya apakah dia sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan oleh para ulama (fuqaha).

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan

Kata "keluarga" dalam sejumlah kamus bahasa Indonesia dan atau kamus Melayu diartikan dengan sanak saudara; kaum kerabat dan kaum-saudara-mara. Juga digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak-bini; ibu bapak dan anak-anaknya. Juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Arti lain dari keluarga ialah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum (undang-undang) pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin dengan personal statute (Amin summa, 2004: 17).
Menurut Mushthafa Ahmad Az-Zarqa, ruang-lingkup al-ahwal-as-syakhshiyyah pada dasamya meliputi tiga macam subsistem hukum berikut:
1.      Perkawinan (al-munakahat) dan hal-hal yang bertalian erat dengannya;
2.      Perwalian dan wasiat (al-walayah wal-washaya);
3.      Kewarisan (al-mawarits).
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut: "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikah-an, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya meru-pakan ibadah”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar